Berkurban merupakan jenis ibadah hartawi yang disyariatkan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, serta ijma’ para imam mazhab. Ibadah ini dilakukan dengan jalan menyembelih hewan kurban dari kelompok bahimat al-an’am (unta, sapi, dan kambing). Hikmah disyariatkannya ibadah kurban adalah semata sebagai wasilah untuk mendekat (taqarrub) kepada Allah subhanahu wata’ala, di antaranya adalah dengan jalan mengingat akan berbagai nikmat rezeki yang telah dianugerahkan oleh Allah berupa hewan ternak.
لِّيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَّعْلُومَاتٍ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّن بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ ۖ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir”(QS Al-Hajj [22]: 28).
Selain itu, hikmah dari disyariatkannya ibadah kurban adalah menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam saat beliau diperintah Allah untuk menyembelih putranya, yakni Nabi Ismail alaihissalam. Hikmah yang bisa kita tangkap dari sejarah ini, adalah akan sifat kesabaran dalam menjalankan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala serta lebih mengutamakan akan kecintaan (mahabbah) kepada-Nya.
Karena adanya hikmah berupa mengutamakan kecintaan kepada Allah subhanahu wata’ala ini, maka disyariatkan melakukan penyembelihan hewan kurban, sebagai bagian dari syi’ar (mercusuar) Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah, barang siapa mengagungkan syi’ar Allah subhanahu wata’ala, maka sesungguhnya tindakan itu adalah termasuk bagian dari ketaqwaan hati” (QS Al-Hajj [22]: 32).
Karena bagian dari upaya mengagungkan syi’ar, maka tidak heran bila ada perintah menyembelih kurban yang terdiri dari hewan yang berkualitas baik, yang ditandai secara fisiknya harus selamat dari segala cacat fisik.
Ada sebuah ketentuan bahwa apabila hewan sudah di-ta’yin (ditentukan) sebagai hewan kurban, tanpa adanya maksud memberi kabar/informasi atas pertanyaan orang lain, maka hewan tersebut dihukumi menjadi wajib dijadikan kurban dan tidak boleh digantikan oleh hewan lain sebab sudah masuk kategori hewan kurban nadzar hukman. Hal ini berangkat dari keterangan Syekh Sulaiman al-Kurdi sebagai berikut:
وَقَالَ العَلاَّمَةُ السَّيِّد عُمَرُ البَصْرِى فِى حَوَاشِ التُّحْفَةِ يَنْبَغِى أَنْيَكُونَ مَحَلُّهُ مَالَمْ يَقْتَصِدُ الأَخْبَارُ فَإنْ قَصَدَهُ اى هَذِهِ الشَّاةَ الَّتِى أُرِيْدُ التَّضْحِيَةِ بِهَا فَلاَ تَعْيِيْنَ وَقَدْ وَقَعَ الجَوَابُ كَذَالِكَ فِى نَازِلَةٍ وَقَعَتْ لِهَذَا الحَقِيْر وَهِيَ اشْتَرَى شَاةً لِلتَّضْحِيَةِ فَلَقِيَهُ شَحْصٌ آخَرَ فَقَالَ مَاهَذِهِ فَقَالَ أُضْحِيَتِى
“Al-Allamah Al-Sayid Umar Al-Bashriy menyampaikan dalam Hasyiyah Tuhfatul Muhtaj: bahwasanya seyogyanya letak status nadzar itu ialah selagi tidak bermaksud memberi kabar. Namun, jika memang bermaksud memberi kabar, misalnya seperti kalimat ‘Kambing ini yang saya maksudkan untuk kurban’, maka hal semacam itu tidak dihukumi sebagai ta’yin (penentuan) melainkan berlaku sebagai jawaban saja. Demikian pula dalam peristiwa yang terjadi pada seorang yang naif ini, yakni seseorang membeli kambing untuk digunakan kurban,kemudian bertemu dengan seseorang yang bertanya: ‘Mau dipakai apa hewan ini?”Lalu ia menjawab: “Rencana mau saya jadikan hewan kurbanku’.” (Al-Tsimaru al-Yani’ah: 80)
Berangkat dari keterangan ini, maka dapat ditarik pemahaman lain bahwa:
- Untuk hewan yang belum di-ta’yin sebagai hewan kurban (kurban sunnah), maka berlaku ketentuan bolehnya diganti dengan rupa hewan lain sewaktu-waktu bila ditemui adanya hewan lain yang lebih bagus.
- Bila hewan yang rencana mau dijadikan hewan kurban tersebut mengalami sesuatu yang di luar ekspektasi pihak yang mau berkurban, misalnya, jelang 2 hari sebelum hari penyembelihan, hewannya tiba-tiba sakit pincang, atau tanduknya patah, atau hal lain yang secara fisik menunjukkan sebagai hewan cacat, maka dalam kondisi seperti ini, hewan tersebut boleh digantikan hewan lain yang secara fisik menunjukkan selamat.
Lantas, bagaimana dengan hewan yang sudah di-ta’yin sebagai hewan kurban wajib atau kurban nadzar hukman, namun tiba-tiba mendadak sakit sehingga menyebabkan cacat fisik? Syekh Ibnu Qudamah di dalam al-Mughni menyampaikan:
مَسْأَلَةٌ؛ قَالَ: وَلَوْ أَوْجَبَهَا سَلِيمَةً، فَعَابَتْ عِنْدَهُ، ذَبَحَهَا، وَكَانَتْ أُضْحِيَّةً وَجُمْلَتُهُ أَنَّهُ إذَا أَوْجَبَ أُضْحِيَّةً صَحِيحَةً سَلِيمَةً مِنْ الْعُيُوبِ، ثُمَّ حَدَثَ بِهَا عَيْبٌ يَمْنَعُ الْإِجْزَاءَ، ذَبَحَهَا، وَأَجْزَأَتْهُ. رُوِيَ هَذَا عَنْ عَطَاءٍ، وَالْحَسَنِ، وَالنَّخَعِيِّ، وَالزُّهْرِيِّ، وَالثَّوْرِيِّ، وَمَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ، وَإِسْحَاقَ. وَقَالَ أَصْحَابُ الرَّأْيِ: لَا تُجْزِئْهُ؛ لِأَنَّ الْأُضْحِيَّةَ عِنْدَهُمْ وَاجِبَةٌ، فَلَا يَبْرَأُ مِنْهَا إلَّا بِإِرَاقَةِ دَمِهَا سَلِيمَةً، كَمَا لَوْ أَوْجَبَهَا فِي ذِمَّتِهِ، ثُمَّ عَيَّنَهَا، فَعَابَتْ
“(Masalah) Syekh Ibnu Qudamah berkata: Jika seseorang telah menentukan hewan yang sehat dan bebas dari cacat untuk kurban, kemudian mengalami cacat yang seharusnya tidak boleh untuk dikurbankan, maka dia boleh menyembelihnya dan hukumnya sah sebagai kurban. Keterangan ini merupakan pendapat Atha’, Imam Hasan Al-Bashri, Imam An-Nakha’i, Imam Az-Zuhri, Imam At-Tsauri, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ishaq bin Rahuyah. Adapun menurut para ulama dari kalanga Ashabu al-Ra’yi berpendapat, bahwa: Tidak mencukupi, karena kurban bagi mereka hukumnya adalah wajib, sehingga tidak boleh serta merta lepas dari mengalirkan darah yang berasal dari hewan yang selamat dari cacat, sebagaimana kasus hewan kurban yang ada dalam tanggungan wajibnya, kemudian sudah ditentukan, akan tetapi di penghujung tiba-tiba mengalami cacat.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 9, halaman 143).
Berdasarkan keterangan ini, ada dua perincian untuk hewan kurban wajib yang mendadak sakit dan menyebabkan kecacatan, yaitu
- Hewan tersebut hukumnya sudah bisa dijadikan hewan kurban dan sah. Mafhum dari status sahnya ini sudah pasti berangkat karena faktor dlarurat. Pendapat ini dipedomani oleh salah satunya adalah Imam Syafi’i.
- Hewan tersebut tidak sah untuk memenuhi kurban wajib sebab memandang sisi wajibnya pelaksanaan nadzar. Status kewajiban menggunakan hewan kurban yang di-ta’yin, bisa digantikan sebab kewajiban lain yaitu menunaikan nadzar. Karena nadzarnya adalah kurban dan untuk taqarrub kepada Allah, maka hendaknya ia mencari hewan lain yang selamat untuk digunakan sebagai hewan kurban. Pendapat ini disampaikan oleh ashabu al-ra’yi (para ulama Iraq).
Mengingat adanya dua pendapat yang sama-sama memiliki hujjah yang kuat tersebut, maka langkah yng diperlukan adalah menganalisis mengenai penyebab kecacatan hewan untuk kepentingan mengompromikan dua pendapat di atas dan sekaligus mengukur status dlaruratnya hewan. Sebagaimana hal ini dapat dipahami dari kaidah: idza dlaqat al-amru, ittasa’a, wa idza ittasa’a dlaqat (ketika suatu perkara itu sempit, maka diperluas, dan ketika luas, maka perlu dipersempit).
Langkah kompromi tersebut adalah sebagai berikut:
Hewan kurban yang sudah di-ta’yin (dinadzarkan) sehingga menjadi kurban wajib, pada dasarnya hewan itu adalah sudah menjadi milik Allah.
- Apabila cacatnya hewan yang hendak dijadikan kurban tersebut adalah murni sebab keteledoran pihak yang hendak berkurban, maka pihak mudlahhi mejadi wajib mengganti rugi haknya Allah subhanahu wata’ala yang berlaku atas hewan kurban itu. Oleh karenanya, ia menjadi wajib membeli hewan kurban yang lain yang sehat dan selamat dari cacat.
- Namun, apabila cacatnya hewan kurban wajib itu bukan sebab keteledoran dari pihak yang hendak berkurban, maka ia tidak wajib mengganti hewan kurban itu, sehingga baginya boleh untuk menyembelihnya dan menjadikannya sebagai kurban wajib (kurban nadzar).
Wallahu a’lam bish shawab.