Yayasan Dharma Kasih | Peduli Yatim di Cakung Jakarta Timur

Kisah generasi salaf yang kesehariannya adalah bertani.

 Abu Darda usianya sudah sangat tua. Ia sahabat Rasulullah SAW.

Sehari-hari ia menghabiskan waktunya untuk bertani dan bercocok-tanam. Suatu hari lewat seseorang di depannya. Saat itu Darda sedang menanam pohon asam. Berkatalah orang itu, ”Mengapa kamu menanam pohon ini? Kamu kan sudah lanjut usia, padahal pohon itu akan berbuah dalam rentang waktu yang amat lama?” Apa jawab Abu Darda? ”Saya hanya mengharap pahalanya, dan biarlah orang lain yang memakan buahnya.”

Bagi para sahabat Rasulullah SAW seperti Abu Darda, pahala tentu saja tidak dipahami hanya sekadar menjalankan ibadah ritual seperti sholat, puasa, dan sebagainya. Mereka memahami bahwa semua kebaikan adalah berpahala. Karena itu, siapa yang menanam kebaikan, ia akan menunai pahala. Dalam kaitan dengan Abu Darda, menanam kebaikan itu berarti menanam tanaman asam atau tanaman apa saja.

Dari tanaman bisa diambil buah dan daunnya. Dari tanaman manusia akan mendapatkan keteduhan. Dari tanaman akan tercipta hutan-hutan yang menghijau yang bisa berfungsi sebagai panadah air hujan agar tidak terjadi banjir dan longsor. 

Darda hanyalah seorang sahabat Rasulullah SAW. Lalu bagaimana dengan Sang Rasul sendiri? Kata beliau, ”Apabila seorang Muslim menanam tanaman, kemudian tanaman itu dimakan oleh burung, manusia, ataupun hewan, maka itu sudah termasuk sedekah.” (HR Bukhari Muslim).

”Apabila seorang Muslim menanam, maka apa yang dimakan darinya merupakan sedekah, dan yang dicuri darinya juga sedekah. Apabila dimakan oleh binatang buas juga sedekah, apabila dimakan oleh burung juga sedekah, ataupun diambil oleh seseorang juga dinamakan sedekah.” (HR Muslim). 

Menanam juga berarti memelihara. Kata Sang Rasul lagi, ”Barangsiapa menanam pepohonan, dan menjaganya dengan sabar, serta merawatnya hingga berbuah, maka segala sesuatu yang menimpa terhadap buah-buahnya akan dianggap sedekah bagi Allah.” (HR Ahmad). 

Bukan hanya Abu Darda yang sangat terpengaruh pada arahan Rasulullah. Hampir semua sahabat juga demikian. Mereka bahkan juga memberi contoh dengan tangannya sendiri. 

Simaklah perbincangan Khalifah Umar bin Khattab dengan ayahnya di suatu hari. ”Ayah, apa yang menghalangi kamu untuk menanami tanahmu?” kata Umar. ”Saya orang tua yang bisa jadi akan mati esok,” jawab ayahnya. ”Aku yakin kamu akan tertipu dengan umurmu,” ujar Umar kemudian. Mereka, ayah dan anak, lalu menanam sendiri di tanah yang kosong itu dengan tangannya.

Bukan hanya di waktu lapang, di saat yang genting sekalipun, misalnya di waktu perang, para sahabat masih menaruh perhatian tentang pentingnya tanaman. Suatu hari, seperti ditulis dalam buku Islam Agama Ramah Lingkungan karya Dr Yusuf Al Qardhawy, ribuan tentara kaum muslimin di bawah komando Panglima Perang Yazid bin Abi Sufyan telah siap berangkat menuju medan perang. Mereka dikirim Khalifah Abu Bakar ke Syam untuk menyebarkan agama Islam. Ketika menginpeksi barisan, di depan tentara Abu Bakar berpesan kepada sang panglima perang.

”Wahai Yazid, ada sepuluh hal yang ingin aku pesankan kepadamu. Pertama, janganlah engkau membunuh bayi. Kedua, janganlah engkau membunuh perempuan. Ketiga, janganlah engkau membunuh orang yang lanjut usia. Keempat, janganlah engkau menebang pohon yang berbuah. Kelima, janganlah engkau menghancurkan bangunan. Keenam, janganlah engkau menyembelih kambing atau unta kecuali untuk dimakan. Ketujuh, janganlah engkau merobohkan pohon kurma. Kedelapan, janganlah engkau membakar pohon kurma. Kesembilan, janganlah engkau berkhianat. Dan terakhir, janganlah engkau takut.”

Leave a Comment